Wetland: Solusi Hijau untuk Menangani Air Asam Tambang

Halo Sobat APT!, salah satu masalah lingkungan yang sering muncul di tambang tembaga dan emas adalah logam-logam terlarut yang terbawa air tambang, ditambah dengan masalah air asam tambang (AAT). Ini terjadi karena air permukaan meresap ke batuan sulfida, ditambah proses oksidasi dari batuan yang sudah terbuka di tambang. Alhasil, logam seperti Al, Fe, Cu, Ca, Mg, dan Na ikut terlarut dalam air. Nah, ini membuat polusi di air dan tanah. Problem AAT ini sangat serius karena mineral sulfida yang terpapar oksigen dan air akan menghasilkan air asam yang sarat sulfur, dan melepaskan logam-logam terlarut tadi.

Nah, bagaimana cara mengatasinya? Salah satunya pakai wetland! Awalnya, wetland itu hanya sebagai tempat menampung air limpasan seperti rawa atau tanah gambut. Tapi, semakin ke sini, wetland jadi solusi untuk menetralkan kualitas air, mengatur pH, dan mengurangi kandungan logam terlarut. AAT biasanya punya pH sekitar 2-4, jadi lumayan asam.

sudah dua dekade terakhir wetland dipakai untuk mengolah air limbah tambang, terutama pada tambang batubara dan logam. Teknologi wetland juga semakin berkembang. Bukan hanya untuk mengatur pH air, tetapi juga bisa memisahkan logam seperti Fe, Co, Ni, dan Mn. Meski begitu,, kajian hidrologi untuk mengukur debit air di kolam bekas tambang masih jarang sekali

Desain Wetland

Nah, di tahun 2001, Ye dan timnya merancang wetland untuk memisahkan logam seperti Fe, Co, Ni, dan Mn dari sisa pembakaran batubara. Bagaimana caranya? Mereka memakai tanaman air untuk menguraikan logam-logam tersebut. Tetapi, tidak hanya tergantung tanaman saja, desain wetland-nya juga berperan besar. untuk menghitung ukuran wetland, dapat menggunakan rumus Kickuth. Intinya, luas permukaannya dihitung dari debit air, konsentrasi BOD, dan konstanta laju yang dipengaruhi suhu. Jadi, semakin panas, makin cepat prosesnya—kenaikan suhu 1°C bisa membuat BOD 10%, apalagi saat musim panas!

Konstruksi Wetland Tennesse Valley

Di Tennesse Valley, mereka menggabungkan wetland alami dengan yang buatan untuk menangani AAT dari tambang. Luasnya lumayan, sekitar 1,5 hektar. Kedalaman air di wetland ini antara 15 sampai 30 cm, dan sudah dibangun sejak 1991.

 
Gambar 1. Desain konstruksi wetland Fabius, Tennessee Valley [11]

Konstruksi Wetland Springdale, Pennsylvania

Di Pembangkit Listrik Springdale, Pennsylvania, mereka membuat wetland untuk mencegah material tambang yang larut di air terbakar sendiri terkena matahari. Awalnya,hanya untuk itu, tetapi sekarang sudah dikembangkan menjadi sistem remediasi pasif dengan 9 kompartemen. Kompartemen ini dibagi menjadi 3 kelompok sesuai fungsinya. Kompartemen pertama, yang paling besar untuk menjadi kolam pengendap sedimen. Kompartemen 2-5 ditanami Cattail (Typha latifolia) untuk menguraikan logam kayak Fe dan Mn. Kompartemen 6-8 bertugas menetralkan pH memakai lapisan batu gamping. Terakhir, ada 2 kompartemen yang isinya alga untuk menguraikan sisa logam kayak Co dan Ni.

 
Gambar 2. Konstruksi wetland di Pembangkit Listrik Batubara, Springdale [12]

Kajian mineral sulfida dan logam terlarut

Air asam tambang dan logam terlarut adalah air limbah yang terbentuk akibat kegiatan penggalian. Prosesnya sederhana: batuan yang mengandung sulfat terpapar air dan oksigen, membentuk asam sulfat. Nah, air asam ini bisa terbawa keluar dari area tambang melalui sistem penyaliran, dan berakhir di sungai atau danau terdekat. Penelitian ini dilakukan di tambang tembaga emas porfiri, di mana tambang tersebut menghasilkan air asam tambang yang punya potensi besar mencemari air limpasan tambang.

 
Gambar 3. Zona mineralisasi batuan di tambang terbuka tembaga dan emas [10].

Air asam tambang jadi pencemar yang perlu perhatian khusus karena sifatnya yang asam dan mengandung ion logam beracun seperti Fe, Zn, Cd, Cu, dan Pb, serta anion terlarut kayak sulfat, nitrat, klorida, arsenat, dan padatan terlarut. Air limpasan dari tambang yang kaya logam ini terjadi akibat oksidasi besi dari batuan pirit (FeS₂) dan mineral sulfida lainnya selama proses penambangan.

Dampak negatif air asam tambang terhadap lingkungan cukup signifikan. Misalnya, peningkatan kandungan logam dalam sistem akuatik, perubahan komposisi kimia air, dan pengendapan logam seperti ferri hidroksida dan aluminium hidroksida. Semua ini menyebabkan berkurangnya cahaya yang masuk ke ekosistem air, sehingga jumlah oksigen yang tersedia juga menurun, yang berimbas pada kualitas air.

Gambar 2 menunjukkan hubungan antara Eh (reduksi dan oksidasi) dengan pH (keasaman atau basa) air dalam berbagai kondisi. Air tambang cenderung melepaskan ion logam, membuatnya punya potensi untuk menghantarkan listrik lebih tinggi daripada kondisi normal. Satuan Eh dinyatakan dalam volt, dan umumnya, air tambang berkisar antara +0,4 hingga +0,9 volt, dengan pH antara 2 hingga 5.

 
Gambar 4.  Karakterisasi pH and Eh [13]

Mineral sulfida pembentuk asam antara lain adalah pirit (FeS₂), kalkopirit (CuFeS₂), molibdenit (MoS), galena (PbS), dan sfalerit (ZnS). Dari semua mineral sulfida tersebut, pirit merupakan yang dominan dalam proses pembentukan asam. Proses ini dapat dijelaskan melalui beberapa persamaan kimia sebagai berikut :

Pada reaksi ini, hasil dari reaksi kedua akan bereaksi dengan pirit yang ada. Besi ferri bertindak sebagai katalis, menghasilkan besi ferrous, sulfat, dan asam.

Melalui reaksi-reaksi ini, terlihat bahwa pirit memainkan peran penting dalam pembentukan air asam tambang.

Kesimpulan

Dalam dua dekade terakhir, teknologi wetland telah mengalami perkembangan yang signifikan, dengan aplikasi yang berhasil dalam mengolah air limbah dari tambang. Contoh konstruksi wetland di Tennessee Valley dan Springdale, Pennsylvania, menunjukkan efektivitas kombinasi wetland alami dan buatan dalam mengatasi AAT. Namun, dampak negatif AAT terhadap lingkungan, seperti pencemaran dan penurunan kualitas ekosistem akuatik, tetap menjadi perhatian utama. Mineral sulfida, khususnya pirit (FeS₂), diidentifikasi sebagai penyebab utama pembentukan AAT.

Dengan demikian, penerapan wetland dapat menjadi solusi yang berkelanjutan untuk mengelola AAT, sekaligus menjaga kesehatan lingkungan dan ekosistem. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk meningkatkan desain dan efektivitas sistem wetland dalam konteks pengelolaan air limbah tambang.

Sumber: Sucahyo, A. P. A., Bargawa, W. S., Nurcholis, M., & Cahyadi, T. A. (2018). Penerapan wetland untuk pengelolaan air asam tambang. KURVATEK, 3(2), 41-46.

img