Limbah Pertambangan sebagai Bahan Konstruksi Jalan: Sebuah Tinjauan

1. Pendahuluan

Pertambangan memang jadi motor penggerak ekonomi, tapi disisi lain juga jadi kontributor besar untuk polusi, khususnya dalam pengelolaan limbah padat. Tantangan utama di sektor ini mencakup keterbatasan ruang penyimpanan limbah dan ancaman pencemaran lingkungan. Untuk mengatasi ini, pemantauan terus-menerus jadi hal wajib, terutama untuk mencegah longsor dan mengendalikan asidifikasi serta kontaminasi logam berat. Salah satu pendekatan dalam mengelola limbah adalah teknik solidifikasi/stabilisasi (S/S), yang efektif untuk mengurangi pencucian sulfidasi dan kandungan logam berat. Bahkan, penggunaan tailing diolah kembali untuk stabilisasi fisik dan kimia di lokasi tambang. Walau biaya pengelolaan limbah di Inggris mencapai sekitar 3,5% dari nilai penjualan, inovasi pengelolaan limbah tambang terus berkembang.

 
Gambar 1. Siklus pertambangan dari ekstraksi bijih hingga benefisiasi logam/mineral

Salah satu contoh resiko besar dalam pengelolaan limbah terjadi di Danau Polley pada tahun 2014, saat kegagalan pengelolaan tailing mencemari lingkungan. Limbah sulfidasi yang terpapar oksigen dan air bisa mencemari lingkungan dalam jangka waktu sangat panjang—bahkan sampai ribuan tahun, seperti kasus Rio Tinto yang tercemar selama 4500 tahun. Sejak 1970-an, pengelolaan limbah tambang mulai menerapkan cement tailings backfill yang terbukti lebih aman dan ekonomis. Selain mengurangi risiko oksidasi sulfida, teknik ini juga bisa digunakan untuk rehabilitasi lahan tambang terbuka, pelabuhan, hingga jalan raya.

2. Batuan Sisa, Tailing, dan Lumpur

Mengelola batuan sisa, tailing, dan lumpur pertambangan tetap jadi tantangan karena belum ada klasifikasi yang universal. Saat ini, empat kategori limbah mineral sudah diidentifikasi berdasarkan potensi penggunaannya di industri konstruksi. Mineral Tipe 1, misalnya, yang jumlahnya melimpah dan nilai industrinya rendah, bisa langsung dimanfaatkan untuk keperluan konstruksi di lokasi tambang dengan sedikit pemrosesan.

Tabel 1. Klasifikasi limbah mineral menurut Mitchell

Limbah yang langsung dipisahkan sejak awal penambangan lebih mudah diolah menjadi agregat dengan sedikit modifikasi dibandingkan dengan tailing dari pemrosesan bijih yang sudah mengandung bahan tambahan organik atau anorganik. Meski begitu, salah satu tantangan besar dalam memanfaatkan limbah sebagai bahan konstruksi adalah sifat geoteknisnya yang rendah dan sifat fisikokimia yang bisa bervariasi tergantung formasi geologinya. Belum lagi, ada risiko pencucian logam berat atau zat asam yang bisa merugikan lingkungan. Untuk itu, karakterisasi mendalam terhadap setiap fraksi limbah sangat penting agar aman digunakan dalam konstruksi, dan langkah ini sebaiknya dilakukan sejak awal proses pertambangan.

3. Evaluasi Lingkungan Terhadap Limbah Pertambangan

Dalam evaluasi lingkungan terhadap limbah tambang, penting untuk memperhatikan pemrosesan dan karakterisasi sejak awal supaya limbah bisa aman digunakan sebagai agregat konstruksi. Limbah yang dipisahkan di tahap awal proses lebih mudah dimodifikasi menjadi agregat dengan sedikit pemrosesan dibandingkan tailing tahap lanjut yang cenderung mengandung bahan tambahan. Tantangan utama ada pada sifat geoteknis yang kurang baik dan potensi pelepasan polutan, terutama dari konsentrasi logam berat atau fase asam. Karena sifat fisik dan kimiawi limbah bisa berbeda-beda, karakterisasi dan perencanaan awal sangat penting agar risiko lingkungan dapat diminimalkan saat limbah tambang digunakan untuk konstruksi di masa depan.

4. Pemanfaatan Limbah Tambang dalam Konstruksi Jalan

Limbah tambang punya potensi besar sebagai agregat sekunder dalam pembangunan jalan, terutama mengingat permintaan agregat yang terus naik dan terbatasnya akses ke lokasi tambang baru. Beberapa negara, seperti Kanada dan Prancis, mengedepankan uji pelindian dan analisis risiko untuk memastikan penggunaan limbah tambang tetap aman bagi lingkungan.

Dalam konstruksi jalan, ada tiga lapisan utama yaitu lapisan permukaan, lapisan dasar, dan subbasis. Masing-masing lapisan ini membutuhkan karakteristik fisik tertentu untuk menopang beban lalu lintas, menyediakan drainase yang baik, dan stabilitas struktural. Di Inggris, sekitar 30% dari 300 juta ton agregat yang diproduksi tiap tahun digunakan untuk jalan, sedangkan di Prancis mencapai 60% untuk infrastruktur jalan dan rel.

Penggunaan limbah tambang sebagai pengganti agregat alami bisa mengurangi dampak lingkungan dari ekstraksi baru. Namun, proses penyaringan serta solidifikasi/stabilisasi tetap penting untuk memastikan kualitas yang aman secara teknis dan lingkungan. OECD merekomendasikan agar setiap jenis limbah tambang dimanfaatkan minimal 50 ribu ton per tahun agar hasilnya optimal baik secara ekonomi maupun lingkungan. Upaya ini sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan dan membantu menghemat sumber daya alam serta mendorong inovasi di sektor konstruksi lokal.

 
Gambar 2: Struktur Jalan Skematik.

"Nah, ada apa lagi selanjutnya? Nantikan pembahasan berikutnya, ya!

 

Sumber: Segui, P., Safhi, A. E. M., Amrani, M., & Benzaazoua, M. 2023. Mining Wastes as Road Construction Material: A Review. Minerals 13, 90. DOI: https://doi.org/10.3390/min13010090. 

Caption:

Halo Sobat APT👋👷‍♀️👷‍♂️

Pernahkah membayangkan jalanan yang kita pijaki setiap hari ternyata terbuat dari limbah tambang?

Fakta menariknya, pemanfaatan limbah tambang sebagai pengganti agregat alami tidak hanya mengurangi eksploitasi sumber daya baru, tapi juga menekan dampak lingkungan, lho!

Namun, pemanfaatan ini tidak tanpa tantangan. Keterbatasan ruang penyimpanan limbah dan risiko pencemaran lingkungan menjadi perhatian utama.

Seperti apa pemanfaatan limbah pertambangan sebagai bahan konstruksi jalan? Mari kita simak selengkapnya!

#Keberlanjutan #LimbahTambang #PengelolaanLimbahTambang #LayananPertambangan #LayananKonstruksi

img